Negeri
yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Atau kurang lebih sama bentangnya
dari Irlandia sampai Kaukasia yang subur makmur, sehingga banyak orang
melambangkannya
sebagai sebuah bongkahan Firdaus (eden)
yang jatuh ke bumi, kini seakan berada dalam kondisi teramat merana. Demikian
pula anak-anak bangsanya yang jauh lebih merana. Pergaulan bebas, narkoba, minuman
keras dan sebagainya seakan sudah menjadi hal yang biasa di tengah-tengah kehidupan ini. Seakan-akan karakter yang pernah dititipkan oleh para
pejuang dahulu telah tergadaikan.
Berdasarkan
beberapa data, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI,
2003) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar
di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga
mengatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual
pranikah dan membuktikan 62,7% remaja kehilangan perawan saat masih duduk di
bangku SMP, dan bahkan 21,2% di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah
melakukan aborsi. Aborsi dilakukan sebagai jalan keluar akibat dari perilaku
seks bebas. Selain itu, 98% mahasiswa yang melakukan seks pranikah mengaku
pernah aborsi. Secara kumulatif, aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3
juta kasus pertahun. Setengah dari jumlah itu dilakukan oleh wanita yang belum
menikah, sekitar 10-30% adalah para remaja. Artinya, ada 230 ribu sampai 575
ribu remaja putri yang diperkirakan melakukan aborsi setiap tahunya (Wibowo, Agus: 2012).
Jika
banyak generasi muda kita yang keluar dari rambu-rambu dan susila, sebagian
generasi tua sepertinya juga tidak mau
kalah, belum lama ini, seorang anggota DPR memperlihatkan kelakuan seronohnya
melalui video yang tersebar luas dibeberapa media. Hal itu belum termasuk kehidupan mereka yang
bermalas-malasan. Tidur saat rapat, ngomong sendiri, telponan, tidak hadir
tepat waktu dsb. Itu semua hanyalah salah satu potret buramnya karakter bangsa
di kalangan para petinggi negeri ini. Ketika melihat realita semacam itu,
muncullah pertanyaan bahwa, Para petinggi negeri saja bisa, kenapa rakyat tidak
bisa???. Nah, beginilah ciri-ciri bangsa ini, selalu saja
membandingkan-bandingkan hal-hal negatif semacam itu sebagai sebuah balasan.
Selain
kasus-kasus seperti diatas, kitapun juga sering mendengar hal-hal seperti: (1)
Praktik jual-beli ijazah yang terjadi dimana-mana; (2) Tawuran antar pelajar,
baik mahasiswa maupun pelajar SMA, SMP, bahkan tawuran antar suku dan kampung,
serta organisasi-oragnisasi lainnya; (3) Kurangnya rasa hormat terhadap orang
tua; (4) Kurangnya sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya; (5) Sulitnya menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam
kehidupan sehari-hari; (6) Kurangnya sikap toleransi yang menghargai perbedaan
agama, etnis, suku, pendapat dan tindakan orang yang berbeda dengan yang kita
harapkan; (7) Mulai hilangnya rasa disiplin dalam diri; (8) Memudarnya rasa
semangat kebangsaan dan cinta tanah air, serta kepedulian terhadap sesama
yakni kurangnya rasa hormat dan kasih
sayang terhadap sesama manusia, tumbuhan dan hewan, dan yang paling parah
saat-saat ini adalah kurangnya rasa gemar membaca pada diri kita. Sehingga,
mengakibatkan hidup ini, ingin serba instant.
Melihat
potret bangsa semacam itu, seakan-akan bangsa ini berada di ujung jurang
kehancuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Lickona, seorang pendidik
karakter dari Cortland University
bahwa, sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh
tanda seperti: (1) meningkatnya kekerasan dikalangan pelajar; (2) membudayanya
ketidakjujuran; (3) sikap fanatik
terhadap kelompok/peer group; (4)
rendahnya rasa hormat terhadap oarng tua dan guru; (5) semakin kaburnya moral
baik dan buruk; (6) penggunaan bahasa yang memburuk; (7) meningkatnya perilaku
merusak diri seperti penggunaaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (8)
rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan warga Negara; (9) menurunya
etos kerja; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian
terhadap sesama.
Tentunya
kita sebagai seorang yang berpendidikan tidak mau melihat kenyataan yang
semacam ini marak terjadi. Betapa merananya pahlawan-pahlawan kita dulu yang
sudah susah payah merebut kemerdekaan dengan mengorbankan darah, keringat dan
air matanya demi terwujudnya bangsa yang baik, dan bangsa yang berkarakter.
Haruskah kita membalasnya dengan cara-cara yang bodoh seperti di atas?
Jawabannya tentu Tidak. Lalu, siapa yang harus disalahkan dengan realitas yang
ada bahwa, sebagian besar anak bangsa ini karakternya telah tergadaikan. Moralitas,
budi dan susila telah mati suri dari kehidupannya.
Jika
hal-hal semacam itu tidak dapat ditangani dengan cepat, maka kehancuran akan
selalu bersama kita. Mulailah pada diri sendiri untuk melakukan tindakan nyata
yang dapat merubah bangsa ini agar lebih berkarakter. Hal kecil yang harus kita lakukan salah satunya adalah dengan
membuang sampah pada tempatnya, kegiatan ini tidak sulit dilakukan jika kita
benar-benar peduli terhadap kemajuan bangsa ini. Selain itu, hargailah waktu,
jangan pernah membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa kegiatan-kegiatan yang
pasti. Hargailah waktu, dengan melakukan sesuatu tepat pada waktunya.
hmmmmm....
BalasHapusmenambah pengetahuan membaca blog ini...