Selasa, 05 Juni 2012

POTRET BURAM KARAKTER BANGSA



Negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Atau kurang lebih sama bentangnya dari Irlandia sampai Kaukasia yang subur makmur, sehingga banyak orang melambangkannya sebagai sebuah bongkahan Firdaus (eden) yang jatuh ke bumi, kini seakan berada dalam kondisi teramat merana. Demikian pula anak-anak bangsanya yang jauh lebih merana. Pergaulan bebas, narkoba, minuman keras dan sebagainya seakan sudah menjadi hal yang biasa di tengah-tengah kehidupan ini. Seakan-akan karakter yang pernah dititipkan oleh para pejuang dahulu telah tergadaikan.
Berdasarkan beberapa data, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2003) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga mengatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7% remaja kehilangan perawan saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan 21,2% di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. Aborsi dilakukan sebagai jalan keluar akibat dari perilaku seks bebas. Selain itu, 98% mahasiswa yang melakukan seks pranikah mengaku pernah aborsi. Secara kumulatif, aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta kasus pertahun. Setengah dari jumlah itu dilakukan oleh wanita yang belum menikah, sekitar 10-30% adalah para remaja. Artinya, ada 230 ribu sampai 575 ribu remaja putri yang diperkirakan melakukan aborsi setiap tahunya (Wibowo, Agus: 2012).
Jika banyak generasi muda kita yang keluar dari rambu-rambu dan susila, sebagian generasi tua  sepertinya juga tidak mau kalah, belum lama ini, seorang anggota DPR memperlihatkan kelakuan seronohnya melalui video yang tersebar luas dibeberapa media. Hal itu belum termasuk kehidupan mereka yang bermalas-malasan. Tidur saat rapat, ngomong sendiri, telponan, tidak hadir tepat waktu dsb. Itu semua hanyalah salah satu potret buramnya karakter bangsa di kalangan para petinggi negeri ini. Ketika melihat realita semacam itu, muncullah pertanyaan bahwa, Para petinggi negeri saja bisa, kenapa rakyat tidak bisa???. Nah, beginilah ciri-ciri bangsa ini, selalu saja membandingkan-bandingkan hal-hal negatif semacam itu sebagai sebuah balasan.
Selain kasus-kasus seperti diatas, kitapun juga sering mendengar hal-hal seperti: (1) Praktik jual-beli ijazah yang terjadi dimana-mana; (2) Tawuran antar pelajar, baik mahasiswa maupun pelajar SMA, SMP, bahkan tawuran antar suku dan kampung, serta organisasi-oragnisasi lainnya; (3) Kurangnya rasa hormat terhadap orang tua; (4) Kurangnya sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya; (5) Sulitnya menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari; (6) Kurangnya sikap toleransi yang menghargai perbedaan agama, etnis, suku, pendapat dan tindakan orang yang berbeda dengan yang kita harapkan; (7) Mulai hilangnya rasa disiplin dalam diri; (8) Memudarnya rasa semangat kebangsaan dan cinta tanah air, serta kepedulian terhadap sesama yakni  kurangnya rasa hormat dan kasih sayang terhadap sesama manusia, tumbuhan dan hewan, dan yang paling parah saat-saat ini adalah kurangnya rasa gemar membaca pada diri kita. Sehingga, mengakibatkan hidup ini, ingin serba instant.
Melihat potret bangsa semacam itu, seakan-akan bangsa ini berada di ujung jurang kehancuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Lickona, seorang pendidik karakter dari Cortland University bahwa, sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda seperti: (1) meningkatnya kekerasan dikalangan pelajar; (2) membudayanya ketidakjujuran; (3) sikap fanatik terhadap kelompok/peer group; (4) rendahnya rasa hormat terhadap oarng tua dan guru; (5) semakin kaburnya moral baik dan buruk; (6) penggunaan bahasa yang memburuk; (7) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan warga Negara; (9) menurunya etos kerja; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian terhadap sesama.
Tentunya kita sebagai seorang yang berpendidikan tidak mau melihat kenyataan yang semacam ini marak terjadi. Betapa merananya pahlawan-pahlawan kita dulu yang sudah susah payah merebut kemerdekaan dengan mengorbankan darah, keringat dan air matanya demi terwujudnya bangsa yang baik, dan bangsa yang berkarakter. Haruskah kita membalasnya dengan cara-cara yang bodoh seperti di atas? Jawabannya tentu Tidak. Lalu, siapa yang harus disalahkan dengan realitas yang ada bahwa, sebagian besar anak bangsa ini karakternya telah tergadaikan. Moralitas, budi dan susila telah mati suri dari kehidupannya.
Jika hal-hal semacam itu tidak dapat ditangani dengan cepat, maka kehancuran akan selalu bersama kita. Mulailah pada diri sendiri untuk melakukan tindakan nyata yang dapat merubah bangsa ini agar lebih berkarakter. Hal kecil yang harus kita lakukan salah satunya adalah dengan membuang sampah pada tempatnya, kegiatan ini tidak sulit dilakukan jika kita benar-benar peduli terhadap kemajuan bangsa ini. Selain itu, hargailah waktu, jangan pernah membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa kegiatan-kegiatan yang pasti. Hargailah waktu, dengan melakukan sesuatu tepat pada waktunya.

1 komentar: