Pandangan
barat dalam
menilai dunia shadah cenderung bersifat objektif, sehingga pola pikirannya
menghasilkan sains dan teknologi. Filsafat barat telah di manifestasikan dalam
kontalasi dan tataran rasio. Oleh karena itu pengetahuannya mempunyai landasan
filosofis yang bersifat empiris kuat, nilai-nilai spiritual dan agama di
kesampingkan. Dalam
proses perkembangannya sampai sekarang dunia barat unggul dalam menguasai
dunia, materi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologinya. Sebaliknya
pandangan filsafat tradisional dan agama kecenderungan mengalami setback (kemunduran).
Masyarakat
barat menurut (Marylin dan Richard, 1987) dalam cara berpikirnya cenderung pada
kemajuan materi dan hidup duniawi, sehingga lebih relevan untuk memaknai
kehidupan di dunia saja. Barat hidup dalam alam ilmiah dan teknis, maka
pemahaman falsafah tradisional dan agama semakin jauh dari makna kehidupannya
karena dianggapnya tidak terkait dengan kehidupan nyata. Agama dipandang sebagai
ide-ide, konsep-konsep yang bersifat abstrak, sehingga orang barat bersifat
rasional dan positifisme. Semua yang tidak bersifat rasional diserahkan kepada
sastrawan sebagai imajinasi hidup.
Menurut
pemikiran barat manusia adalah segalanya karena mampu menyempurnakan hidupnya
sendiri dengan syarat bertolak pada rasio, intelek dan pengalaman (Dorothy Max,
1983). Falsafah pemikiran seperti itu menurut sejarah berasal dari falsafah
protogoras (480-411 SM). Potogoras lah dianggap pertama kali mengembangkan
falsafah bahwa manusia adalah segalanya, sehingga boleh dikatakan bapak
Humanisme kemudian berkembang di barat. Dalam tradisi humanistic setiap manusia
harus memiliki untuk diriny kebenaran dan kebaiakan. Akibatnya, gerakan
sekularisme semakin berkembang diberbagai aspek kehidupan, termasuk estetika,
moral dan agama.
Ajaran
pemikiran ini kemudian oleh Comte dan Feuerbach pada abad ke-18 dengan
bersumber dari filsafat positifisme. Mereka berpendapat bahwa manusia adalah
segalanya, karena martabatnya. Manusia tidak ternilai oleh materi sehingga
eksistensinya perlu memperoleh respek, bantuan dan hormat. Oleh pandangan barat
manusai dinilainya sebagai subjek disebabkan memilih kemampuan rasional,
kreatif, estetik, sehingga kebudayaan barat menghasilkan nilai-nilai dasar
seperti: demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi. Maka manusia
harus mendapat segalanya yang berwujud kemajuan materi dan kesejahteraan, bukan
kebijksanaan hati nuraninya (Agussalim: 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar