Selasa, 05 Juni 2012

TRANSFORMASI KEBUDAYAAN


Transformasi kebudayaan (ahli budaya) berkaitan dengan faktor-faktor eksternal budaya, sehingga transformasi kebudayaan menghendaki perubahan kebudayaan.
Transmisi budaya menyangkut faktor eksternal, karena adanya dua kelompok yang bertemu (pihak A atau asing) dan (pihak B penerima) menyebabkan terjadinya pertemuan dua unsur budaya antara masyarakat asing dengan budaya masyarakat penerima, proses ini menyebabkan adanya komunikasi dari luar atau masyarakat lain. Proses ini dapat dibedakan dengan jenis-jenis transformasi tersebut di bawah ini, antara lain:
1.     Difusi Kebudayaan adalah penyebaran unsur budaya dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya penyebaran unsur budaya ke tempat lain, karena ada gerak special (antar ruang) dari daerah A dating unsur budaya ke daerah B atau sebaliknya dengan membawa unsur budaya ke tempat bersangkutan menyebabkan adanya proses transformasi. Dewasa ini proses transformasi dilakukan dengan kemajuan teknologi komunikasi banyak dilakukan melalui radio, telpon atau hp, televise ataupun satelit.
2.     Asimilasi Kebudayaan, bila terjadi pertemuan antara dua unsur budaya yang berlainan (budaya masyarakat asing dengan masyarakat penerima) terjadi perubahan sifat-sifat khas dari unsur-unsur yang saling bertemu kemudian memunculkan bentuk baru yang bersifat kombinasi. Jadi, unsur budaya penerima mengalami perubahan. Disini menunjukkan adanya proses menggambarkan transformamsi itu terjadi.
3.     Proses Akulturasi Kebudayaan. Pertemuan antara dua unsur budaya yang berlainan menyebabkan terjadinya akulturasi. Akulturasi terjadi apabila dua kebuadayaan yang berasal dari dua kelompok masyarakat yang berbeda lambat laung unsur budaya yang berasal dari masyarakat lain dapat diterima dan diolah tanpa menhilangkan budaya aslinya. Dalam proses akulturasi ciri khas budaya asli tidak hilang kemudian menerima unsur kebudayaan asing. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah proses pengayaan budaya dengan menerima unsur budaya asing. Contoh dahulu sebelum islam masuk di masyarakat jawa dalam selamatannya menggunakan doa bahasa jawa, setelah masuk islam tetap melakukan keselamatan tetapi doanya sudah menggunakan. (Agussalim: 2009)


KARAKTERISTIK BUDAYA TIMUR


Umumnya manusia timur menghayati hidup dan seluruh eksistensinya. Manusia timur berpikir tidak bertujuan untuk menunjang uasaha menguasai dunia dan hidup secara teknis. Sebab manusia timur lebih menyukai intuisi dari pada akal budinya. Inti kepribadiannya tidak terletak pada inteleknya tetapi dihatinya, sehingga menyatukan akal budinya/intelek dengan intuisi, perasaan dan hati nuraninya.
            Budaya timur pada prinsipnya bermuara dari ajaran agama tumbuh dan berkembang di dunia timur. Cara berpikir manusia timur dimodifikasi oleh falsafah agama seperti Hindu dan Budha, menyebabkan manusia membuat kebijakan bersifat kontemplasi, tertuju pada tinjauan kebenaran. Berpikir kontemplasi, tertuju pada tinjauan kebenaran. Berpikir kontemplasi dipandang sebagai puncak perkembangan rohaniahnya.
            Falsafah budaya timur berusaha mencari keharmonisan dengan alam bukan untuk menguasainya, karena falsafahnya beranggapan bahwa manusia bagian dari alam, sehingga tidak berhak untuk merusak alamnya. Alamlah yang memberi kehidupan, keteduhan hidup makanan bahan untuk seni dan sains. Keinginan untuk memproleh keselamatan dan kebebasan tidak hanya ditekankan pada kemampuan sendiri, tetapi diserahkan kepada kekuatan diluar dirinya disebut kekuatan gaib, sehingga membentuk kepribadiannya. Untuk mencapainya dilakukannya melalui meditasi terekat dan mistik.
            Mencari ilmu tidak hanya menambah kecerdasan, tetapi mencari kebijaksanaan, menghadapi kenyataan orang timur yang memadukan pengetahuan dan intelektualnya dengan intuisi, pemikiran yang kongkrit, simbolik dan kebijaksanaan. Menurut (Alfia, 1985) ada tiga sifat menghadapi tantangan kebudayaan barat yaitu:
1.      Sikap reaksi yang sama sekali menolak kebudayaan barat. Sikap ini menganggap bahwa kebudayaan barat hanya melahirkan manusia materealisme yang rakus dan kejam dan menganggap kebudayaan timur yang lebih manusiawi.
2.      Sikap reaksi yang berusaha melihat adanya benturan antara kebudayaan barat dan timur secara kritis. Secara obyektif melihat masing-masing kelemahan antara keduanya. Karenanya, perlu, ada jarak antara keduanya untuk saling mengotori, untuk memadukannya perlu ada seleksi yang mana unsur budaya barat yang dapat menunjang kepentingan kebudayaan timur. Sehingga dapat masuk sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam konteks budaya nasional.
3.      Reaksi yang menerima secara totalitas kebudayaan barat. Sikap seperti ini menganggap bahwa kebudayaan timur sudah tidak relevan lagi untuk menghadapi tantangan yang berkembang sekarang. Hanya kebudayaan barat yang unggul dan mampu untuk melahirkan manusia yang berkualitas (Agussalim: 2009).

KARAKTERISTIK BUDAYA BARAT


Pandangan barat dalam menilai dunia shadah cenderung bersifat objektif, sehingga pola pikirannya menghasilkan sains dan teknologi. Filsafat barat telah di manifestasikan dalam kontalasi dan tataran rasio. Oleh karena itu pengetahuannya mempunyai landasan filosofis yang bersifat empiris kuat, nilai-nilai spiritual dan agama di kesampingkan. Dalam proses perkembangannya sampai sekarang dunia barat unggul dalam menguasai dunia, materi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologinya. Sebaliknya pandangan filsafat tradisional dan agama kecenderungan mengalami setback (kemunduran).
Masyarakat barat menurut (Marylin dan Richard, 1987) dalam cara berpikirnya cenderung pada kemajuan materi dan hidup duniawi, sehingga lebih relevan untuk memaknai kehidupan di dunia saja. Barat hidup dalam alam ilmiah dan teknis, maka pemahaman falsafah tradisional dan agama semakin jauh dari makna kehidupannya karena dianggapnya tidak terkait dengan kehidupan nyata. Agama dipandang sebagai ide-ide, konsep-konsep yang bersifat abstrak, sehingga orang barat bersifat rasional dan positifisme. Semua yang tidak bersifat rasional diserahkan kepada sastrawan sebagai imajinasi hidup.
Menurut pemikiran barat manusia adalah segalanya karena mampu menyempurnakan hidupnya sendiri dengan syarat bertolak pada rasio, intelek dan pengalaman (Dorothy Max, 1983). Falsafah pemikiran seperti itu menurut sejarah berasal dari falsafah protogoras (480-411 SM). Potogoras lah dianggap pertama kali mengembangkan falsafah bahwa manusia adalah segalanya, sehingga boleh dikatakan bapak Humanisme kemudian berkembang di barat. Dalam tradisi humanistic setiap manusia harus memiliki untuk diriny kebenaran dan kebaiakan. Akibatnya, gerakan sekularisme semakin berkembang diberbagai aspek kehidupan, termasuk estetika, moral dan agama.
Ajaran pemikiran ini kemudian oleh Comte dan Feuerbach pada abad ke-18 dengan bersumber dari filsafat positifisme. Mereka berpendapat bahwa manusia adalah segalanya, karena martabatnya. Manusia tidak ternilai oleh materi sehingga eksistensinya perlu memperoleh respek, bantuan dan hormat. Oleh pandangan barat manusai dinilainya sebagai subjek disebabkan memilih kemampuan rasional, kreatif, estetik, sehingga kebudayaan barat menghasilkan nilai-nilai dasar seperti: demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi. Maka manusia harus mendapat segalanya yang berwujud kemajuan materi dan kesejahteraan, bukan kebijksanaan hati nuraninya (Agussalim: 2009).

POTRET BURAM KARAKTER BANGSA



Negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Atau kurang lebih sama bentangnya dari Irlandia sampai Kaukasia yang subur makmur, sehingga banyak orang melambangkannya sebagai sebuah bongkahan Firdaus (eden) yang jatuh ke bumi, kini seakan berada dalam kondisi teramat merana. Demikian pula anak-anak bangsanya yang jauh lebih merana. Pergaulan bebas, narkoba, minuman keras dan sebagainya seakan sudah menjadi hal yang biasa di tengah-tengah kehidupan ini. Seakan-akan karakter yang pernah dititipkan oleh para pejuang dahulu telah tergadaikan.
Berdasarkan beberapa data, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2003) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga mengatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7% remaja kehilangan perawan saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan 21,2% di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. Aborsi dilakukan sebagai jalan keluar akibat dari perilaku seks bebas. Selain itu, 98% mahasiswa yang melakukan seks pranikah mengaku pernah aborsi. Secara kumulatif, aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta kasus pertahun. Setengah dari jumlah itu dilakukan oleh wanita yang belum menikah, sekitar 10-30% adalah para remaja. Artinya, ada 230 ribu sampai 575 ribu remaja putri yang diperkirakan melakukan aborsi setiap tahunya (Wibowo, Agus: 2012).
Jika banyak generasi muda kita yang keluar dari rambu-rambu dan susila, sebagian generasi tua  sepertinya juga tidak mau kalah, belum lama ini, seorang anggota DPR memperlihatkan kelakuan seronohnya melalui video yang tersebar luas dibeberapa media. Hal itu belum termasuk kehidupan mereka yang bermalas-malasan. Tidur saat rapat, ngomong sendiri, telponan, tidak hadir tepat waktu dsb. Itu semua hanyalah salah satu potret buramnya karakter bangsa di kalangan para petinggi negeri ini. Ketika melihat realita semacam itu, muncullah pertanyaan bahwa, Para petinggi negeri saja bisa, kenapa rakyat tidak bisa???. Nah, beginilah ciri-ciri bangsa ini, selalu saja membandingkan-bandingkan hal-hal negatif semacam itu sebagai sebuah balasan.
Selain kasus-kasus seperti diatas, kitapun juga sering mendengar hal-hal seperti: (1) Praktik jual-beli ijazah yang terjadi dimana-mana; (2) Tawuran antar pelajar, baik mahasiswa maupun pelajar SMA, SMP, bahkan tawuran antar suku dan kampung, serta organisasi-oragnisasi lainnya; (3) Kurangnya rasa hormat terhadap orang tua; (4) Kurangnya sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya; (5) Sulitnya menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari; (6) Kurangnya sikap toleransi yang menghargai perbedaan agama, etnis, suku, pendapat dan tindakan orang yang berbeda dengan yang kita harapkan; (7) Mulai hilangnya rasa disiplin dalam diri; (8) Memudarnya rasa semangat kebangsaan dan cinta tanah air, serta kepedulian terhadap sesama yakni  kurangnya rasa hormat dan kasih sayang terhadap sesama manusia, tumbuhan dan hewan, dan yang paling parah saat-saat ini adalah kurangnya rasa gemar membaca pada diri kita. Sehingga, mengakibatkan hidup ini, ingin serba instant.
Melihat potret bangsa semacam itu, seakan-akan bangsa ini berada di ujung jurang kehancuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Lickona, seorang pendidik karakter dari Cortland University bahwa, sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda seperti: (1) meningkatnya kekerasan dikalangan pelajar; (2) membudayanya ketidakjujuran; (3) sikap fanatik terhadap kelompok/peer group; (4) rendahnya rasa hormat terhadap oarng tua dan guru; (5) semakin kaburnya moral baik dan buruk; (6) penggunaan bahasa yang memburuk; (7) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan warga Negara; (9) menurunya etos kerja; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian terhadap sesama.
Tentunya kita sebagai seorang yang berpendidikan tidak mau melihat kenyataan yang semacam ini marak terjadi. Betapa merananya pahlawan-pahlawan kita dulu yang sudah susah payah merebut kemerdekaan dengan mengorbankan darah, keringat dan air matanya demi terwujudnya bangsa yang baik, dan bangsa yang berkarakter. Haruskah kita membalasnya dengan cara-cara yang bodoh seperti di atas? Jawabannya tentu Tidak. Lalu, siapa yang harus disalahkan dengan realitas yang ada bahwa, sebagian besar anak bangsa ini karakternya telah tergadaikan. Moralitas, budi dan susila telah mati suri dari kehidupannya.
Jika hal-hal semacam itu tidak dapat ditangani dengan cepat, maka kehancuran akan selalu bersama kita. Mulailah pada diri sendiri untuk melakukan tindakan nyata yang dapat merubah bangsa ini agar lebih berkarakter. Hal kecil yang harus kita lakukan salah satunya adalah dengan membuang sampah pada tempatnya, kegiatan ini tidak sulit dilakukan jika kita benar-benar peduli terhadap kemajuan bangsa ini. Selain itu, hargailah waktu, jangan pernah membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa kegiatan-kegiatan yang pasti. Hargailah waktu, dengan melakukan sesuatu tepat pada waktunya.